Saat kecil, salah satu kegemaran saya adalah menumpang gerobak. Tahun 1980-an, di kampung saya masih banyak petani yang memiliki kendaraan roda dua yang tidak selalu beratap ini. Oh, atap ini bisa dibongkar-pasang. Tetangga depan rumah, malah, gerobaknya besar karena ditarik 2 sapi.
Saya suka duduk di belakang roda. Ada sedikit papan menjorok keluar di situ. Kaki menjulur ke bawah, menginjak batang kayu yang melintang di bawah gerobak. “Jak… jak… her… her…,” hardik bajingan kepada sapinya agar mulai melangkahkan kakinya. Ketika jalan menurun, tugas saya atau orang yang duduk di posisi saya adalah menginjak kayu itu hingga menempal pada ban. Bannya sendiri besar, biasanya bekas ban truk. Ssssk… ssssk… dan gerobak pun melambat.
Saat musim panen tiba adalah saat-saat paling menggembirakan. Begitu tetangga depan rumah mengikat leher sapi dan menjulurkan kepala sapi itu di “pasangan”-nya saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk “nyengklak” ke bak gerobak yang tingginya sekira 1 meter itu. Jika sapinya besar, maka permukaan bak gerobak akan miring ke belakang. Kalau tidak hati-hati bisa keplorot dan jatuh. Klonthong… klonthong… bunyi lonceng yang menggantung di leher sapi.
Sepulang dari sawah, ini yang mengasyikkan. Gerobak berisi tumpukan karung berisi gabah hasil tuaian. Semakin tinggi tumpukan, semakin senang kami, karena bisa memanjat karung-karung itu dan duduk di ketinggian, sambil menatap hamparan sawah yang luas di sepanjang mata memandang.
Di kampung haLaman saya, di Purbalingga, kata Bajingan tak selalu berkonotasi negatif. Sekarang mungkin iya, tapi duLu, kata kakek nenek saya, arti Bajingan tak serendah apa yang sekarang dikenaL luas di masyarakat. Bajingan adaLah sebutan bagi orang yang berprofesi sebagai pengendara gerobak sapi. Dulu gerobak sapi masih umum digunakan sebagai alat transportasi.
Bajingan, Pengendara Gerobak Sapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar